Bersepeda di malam hari

Jika engkau pernah mengalami gundah, cobalah ambil sepeda dan bersepeda di malam hari. Engkau akan merasakan bagaimana pikiran-pikiran yang tidak menentu mulai menempati folder dengan rapi. Engkau akan mulai mengenali harapan-harapan palsu dan siap diarsipkan. Engkau akan melihat bagaimana kebimbangan diulang bentuknya menjadi keberanian, lalu engkau mengayuh sepeda kian dalam. Itu saja! Ni Made Wawia 29 Agustus

Yang duduk dan menunduk

Saya berhenti ketika lampu lalu lintas itu berpindah merah. Kaki kiri saya turun dari motor dan pikiran saya juga turun, merambat ke arah satu sosok. Seandainya saja anakku mau bekerja, mungkin aku tak duduk menunduk. Tidak berteman dengan perpindahan lampu dari merah, hijau, kuning dan merah lagi. Aku disini karena tidak punya pilihan di tengah rasa malas yang hinggap

Perempuan di bawah pohon bambu

Ia cantik tapi aku belum menemukan padanan kata yang lebih tepat. Aku sengaja memburunya, penasaran. Gaya apalagi yang akan dia publikasikan di media sosial. Temuan pertama, ia menggunakan kutang dan celana dalam. Memajang dirinya di depan lukisan. Aku melihatnya di sebuah halaman media sosialnya. Temuan berikut, aku mendapatinya dengan setelan atasan hitam dan bawahan berwarna biru

Because only for certain soul

This essay is inspired by some of the recent comments in this post. And it made me think: why people really don’t like poetry? What is it that keeps them away from maybe not writing, but from reading some really exquisite pieces by poets from all around the world? The usual answer is something like

Di detik yang berbeda

Sekali lagi, waktu memang demikian misteriusnya. Di detik sebelumnya,                  aku masih berupa tubuh yang mampu mengangkat masa dan dosa. Di detik yang berbeda, aku adalah sebuah kelemahan yang terjebak tidak meronta Aku ingin bisa menterjemahkannya aku akan mencari jalan-jalan singkat jalan pintas yang bisa memuat, memutus bahkan