Jam Malam Seorang Lelaki

Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Mengapa dia tidak mengirimiku lagi sebuah pesan? Biasanya, setiap larut malam begini segalanya akan jadi lebih indah dan mengharukan, karena hidupku terisi dengan kata kata-kata rindu seorang lelaki. Dia tinggal di kota yang jauh dan aku mungkin tak akan pernah sanggup membayangkan sosoknya secara utuh. Tetapi kesetiaannya menemani jam-jam kosongku selama dua tahun adalah hal terindah yang bisa didapatkan seorang gadis sepertiku.

Lelaki itu, entah siapa dia. Kami bahkan hanya berkenalan beberapa jam saja saat bertemu di kota itu. Dan kami rasanya tidak melakukan sesuatu hal yang dapat mendekatkan kami satu sama lain. Sama sekali tidak. Ketika itu kami bersalaman, makan siang bersama-sama orang lain dan selanjutnya ia mengantarku ke sebuah alamat untuk mengurus keperluanku di kota itu. Esoknya aku pergi, itu saja. Dan lelaki itu juga tak kulihat melambaikan tangan maupun menunjukkan sebuah mimik haru atas perpisahan itu. Salam perpisahanku disambutnya dengan amat biasa. Tak mengesankan.

Dan aku juga tak merasakan getar apa-apa ketika seminggu kemudian dia meneleponku menggunakan nomor yang belum pernah kukenal sebelumnya. Kami bercakap layaknya dua orang yang pernah bertemu di satu tempat, tanya kabar masing-masing, dan saling berkirim salam buat orang-orang yang pernah kami kenal di kota masing-masing.

Namun sejak itu aku merasa terganggu sekali. Setiap tiga hari dia meneleponku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membosankan. Menurutku malah dia terlalu kampungan untuk seorang yang bicara di hand phone. Ia memang tidak cerewet, namun selalu mengulang-ulang pertanyaan yang tidak perlu; apakah kamu baik? Lagi di mana ni? Tadi puasa gak? Duh,…

Aku sebenarnya ingin mengatakan padanya agar tak usah meneleponku lagi kalau tak penting. Tapi aku sungguh tak enak. Bagaimanapun dia pernah membantuku. Jadi kudengarkan saja dia. Adakalanya kami terdiam sampai beberapa menit di telepon bila dia kehilangan kata-kata untuk diucapkan dan aku kehilangan hasrat untuk mendengarkan. Namun hal itu sering membuatku merasa kasihan, hingga kadang aku memaksa diri untuk mengeluarkan beberapa patah kata mengurangi rasa kasihanku padanya.

Aku tak tau, apa karena merasa dilayani itu dia lalu merasa aku tengah membuka pintu buat dia? Sungguh tolol kalau begitu. Sungguh dungu! Ah, mungkn aku hanya ge-er. Siapa tau dia memang bermaksud menyampaikan sesuatu yang penting sehingga harus berpayah-payah menghubungiku. Mungkin saja dia belum merasa pas saja waktunya. Tapi kalau penting tentu dia tidak menunda. Masakah untuk menyampaikan satu hal penting saja harus menghubungi sampai berkali-kali.

Aduh, bodoh. Bodoh sekali. Mengapa pula aku harus berpikir tentang seorang yang (maaf) tidak penting kehadirannya dalam hidupku? Dia bukan sahabat, bukan saudara, apalagi pacar. Dia tidak seperti seseorang yang pernah pernah mengisi hidupku dengan kegembiraan maupun kesedihan. Tidak seperti Mas Arifin yang kucintai, tidak seperti Utut yang pernah kulukai, tidak seperti siapa-siapa. Dia bukan siapa-siapa!

Akupun melupakan pertanyaan-pertanyaan yang melintasi pikiranku tentang lelaki itu. Sudah beberapa kali teleponnya tidak pernah kujawab. Aku berharap dia akan mengerti bahwa aku tak suka lagi menjawab panggilannya. Dan seperti yang kuinginkan, dia nampaknya segera menyadarinya.Dia tak pernah menghubungiku lagi. Aku merasa telah terbebas dari sebuah masalah.

Namun rupanya dia adalah jenis orang yang ngotot. Kini, setiap malam larut dia mengirimiku pesan-pesan yang tidak kupahami maksudnya. Kotak pesan di HP-ku jadi sesak oleh kata-kata puisi. Aku tak pernah membacanya benar-benar, karena aku tak mengerti puisi. Sering malah aku menghapusnya sebelum sempat kubaca. Aku sama sekali tak berhasrat karena dua hal. Pertama, seperti yang telah kubilang barusan, aku tak suka puisi dan tak mengerti. Kedua, lelaki itu mulai membuatku amat marah.

Tidak hanya waktu tidurku, pesan-pesannya itu bahkan nyaris membuat hubunganku dengan Mas Arifin terganggu. Dari bertanya-tanya, Mas Arifin rupanya menjadi cemburu. Dia menyangka aku memiliki pacar lain, karena setiap tengah malam ada sebait pesan di hpku dengan kata-kata yang menurut Mas Arifin, bukan sembarang kata-kata.

Mana aku tau. Aku tak pernah berhasrat dengan kata-kata. Aku hanya mencoba menjelaskan pada Mas Arifin bahwa aku sama sekali tak membaca pesan itu. Aku menghapusnya di hadapannya. Begitu setiap kali. Dan Mas Arifin mulai mengerti.

Di luar dugaanku bahkan, suatu hari dia menganjurkanku membaca pesan-pesan itu. “Siapa tau ada yang berguna untuk diingat,” Kata Mas Arifin padaku. Aku menuruti anjurannya. Apakah yang tidak akan kulakukan untuk lelaki ini? Aku teramat mencintainya.

Maka aku tak pernah melewatkan lagi pesan-pesan itu. Setiap malam kini, kubiarkan hidupku diisi oleh bait-bait puisi yang pelan-pelan ingin kumengerti. Tak jarang pula aku membacanya bareng dengan Mas Arifin sambil berbaring di ranjang. Pesan-pesan itu, kurasa, begitu sedih. Dan lebih menyedihkan lagi bila mengingat kesedihan itu dikirimkannya saat aku dan Mas Arifin berkeringat laksana sepasang kuda pacu yang berlari mendaki bukit-bukit. Kami berhenti dan akan memulainya lagi. Begitu terus.

Dan laki-laki itu masih saja menemani kami. Bahkan ketika aku hamil dua bulan dan Mas Arifin menikahiku, lelaki itu tak juga pergi. Sementara aku memilih untuk tetap membisu membaca pesan-pesannya.

Harus kuakui, lelaki itu mulai memperoleh tempat dalam lapis ingatanku yang terdalam. Ingatan yang dimulai dan berujung pada kesedihan panjang. Bagaimana dia masih mengingatku dalam jarak waktu yang cukup lama, meskipun aku tak menyisakan sepotong kesempatan baginya untuk bicara ataupun mengetahui kabarku.

Dia masih saja bertanya tentang hari-hariku. Pertanyaan-pertanyaan itu telah membuat rahimku makin gembung. Seolah rahim itu diisi oleh oleh dua janin yang saling berdesakan. Satu janin anakku, lainnya adalah janin kesedihan yang muncul setiap kali aku membaca pesan-pesan sedih dari lelaki itu.

Dan bila akhirnya rahimku robek, dan anakku yang jelita lahir ke dunia, kesedihan dari lelaki itu masih berdiam di sana. Dia tak mau pergi dan aku juga tak sanggup mengusirnya. Lewat tanganku yang telah jadi Ibu, kurasakan laki-laki itu ikut menimang anakku. Lewat puting susuku yang berair, kurasakan laki-laki itu tengah menyusui bayiku.

Mas Arifin kukira mengetahui bagaimana perasaanku saat ini terhadap laki-laki yang mengirimiku pesan-pesan malam itu. Namun dia tak pernah menanyakannya. Dia membiarkan saja aku membaca pesan-pesan itu dalam kesendirianku. Ya, tak ada lagi yang perlu dia ragukan. Dia memiliki aku dan anak-anakku. Dia tak usah merasa cemburu hanya karena hidupku diisi oleh kata-kata dari seorang lelaki yang bahkan sudah tak bisa kuingat seperti apa roman mukanya.

Laki-laki itu, aku hanya tau di kota mana dia sekarang. Hal-hal apa saja yang sehari tadi menyentuhnya, peristiwa-peristiwa apa saja…Semua itu kuketahui, karena dia memberitahukannya padaku lewat kotak pesan di ponselku. Barangkali tak ada satu peristiwa penting yang dia alami yang luput dikabarkannya padaku.

Aku tau bagaimana hari itu dia sedih, aku tau bagaimana suatu hari dia begitu marah pada dirinya sendiri hanya karena dia lupa mengisi lembaran buku hariannya dengan surat-surat cintanya padaku. Aku tau semua. Namun aku tak tau bagaimana harus menyapa seorang yang telah kudiamkan begitu lama. Seorang yang mengejarku dengan kecemasan-kecemasan dan rindunya. Seorang yang roman mukanya telah benar-benar kulupa.

Barangkali Mas Arifin benar, aku harus menyediakan waktuku untuk memberi kesempatan pada laki-laki itu. Aku harus menghentikan pesan-pesannya itu dengan menjawabnya, menceritakan keadaanku, anakku, suamiku… Namun usulnya itu telah menimbulkan pertengkaran di antara kami. Aku menyangka Mas Arifin hendak menguji kesetiaanku padanya. Hingga aku merasa tersinggung. Untunglah hanya cekcok sedikit saja. Mas Arifin mengalah dan tidak membicarakan perihal laki-laki itu lagi denganku.

Sering aku merasa berdosa pada diriku. Bagaimana aku makin hari makin dekat dengan pikiranku tentang laki-laki itu? Aku telah membawanya begitu dalam ke rumah kami, mengingatnya di dinding, di tabung susu anakku, di lemari es, lemari pakaian, bahkan dalam kesibukanku bekerja.

Jika aku ingat bukan aku yang mengundangnya, sedikit legalah aku dari perasaan berdosa itu. Namun sesaat kemudian aku kembali mengharapkannya. Aku kembali menunggunya datang lewat pesan-pesan di layar ponselku. Seperti lelaki itu, aku tak juga berhenti. Bahkan hingga anakku yang jelita telah bisa berlari aku terus mengisi rahimku dengan luka-luka yang diceritakan laki-laki itu padaku.

Dan aku merasa sangat kehilangan, bilamana dia lenyap tiba-tiba. Layar ponselku tak pernah bergetar lagi karena pesan-pesannya. Rumah jadi kosong. Kota-kota jadi begitu hampa. Mengapa dia tidak datang melihatku saat aku sangat ingin melihatnya?

Riki Dhamparan Putra
Denpasar, Juni 2004

simpul

dua pekan ini
tidak sepuluh orang namun berpuluh-puluh orang
memiliki ayat menyertakan kesucian

aku terus menyimak,
satu dari mereka menggelar tikar lantas duduk
seperti ada jeda
dimana semua orang mengerang untuk dahinya

kalau benar ada satu simpul
yang dijadikan pola,
kita harus berhenti sesaat
sedang apa di jalanan berpakaian malaikat?
karena satu persatu cidera
tepat di dahi kita
lebih mirip duka ketimbang luka

aku tak ingin mengucapkan entah
karena inilah kawah manusia
dimana kesucian bagai muara tanpa parit sedikitpun

kau! kerumunan itu
saat ini masih ada ayat yang kau pinjam dari keberanian
kau! kembalikan momen ini
nanti
setelah luka itu berangsur pulih

Denpasar, Agustus 2006
Ni Made Wawi Adini

Kita Sudah Mati

Kedaulatan itu hanya milik beberapa orang saja di negeri ini. Kedaulatan tidak lagi ada di tangan rakyat. Kedaulatan ada di tangan negara. Kedaulatan bukan lagi milik semua manusia. Negara buta, rakyat tidak paham!

Negara enggan melihat apa yang menjadi kedaulatan rakyat. Rakyat tidak paham bahwa negara wajib melindungi kedaulatan mereka. Karena rakyat bodoh! Dan negara tidak suka jika rakyat cerdas!

Rakyat tidak tahu bahwa mereka, kita tidak hidup sendiri. Rakyat tidak sadar bahwa kedaulatan yang seharusnya di tangan mereka, telah diambil alih oleh negara. Rakyat tidak tahu perlahan dicuci otaknya oleh negara. Rakyat tidak tahu bahwa negara ini tetap berdiri karena hutang. Rakyat tidak tahu bahwa hutang itu entah kapan bisa dibayar. Rakyat tidak tahu dengan siapakah negara berhutang. Rakyat tidak tahu untuk apa hutang itu. Rakyat tidak tahu mengapa ada yang mau memberi hutang. Rakyat tidak tahu kenapa negara harus berhutang. Rakyat tidak tahu kemana hutang negara digunakan. Rakyat tidak tahu siapa yang harus membayar hutang. Rakyat tidak tahu berapa besar hutang negara. Rakyat tidak tahu apa itu hutang negara!

Negara berhutang atas nama rakyat! Dan negara tidak pernah memberikan penjelasan kepada rakyat!

Negara hanya berbicara kepada koran. Padahal rakyat tidak bisa membaca. Negara hanya berbicara pada radio. Sementara rakyat belum memiliki radio. Negara hanya berbicara kepada televisi. Padahal rakyat tidak mampu memiliki televisi. Rakyat tidak menikmati apa yang dibicarakan negara. Karena negara berbicara dengan bahasa negara, bukan bahasa rakyat!

Rakyat sudah tidak memiliki arti. Kedaulatan rakyat sudah mati. Mati dibunuh oleh negara yang dibentuknya sendiri.